Perubahan tentang Ujian Nasional yang diganti Asesmen Nasional merupakan cara Kementrian Pendidikan memberikan hak pendidikan yang sama untuk setiap siswa. Asesmen Nasional yang diadakan menjadi cara ukur yang efektif guna meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Selain itu penghapusan UN juga membahas tentang bagaimana diadakannya UN, secara tidak langsung mendiskriminasi siswa dari golongan kurang mampu. Hal ini dilihat dari fasilitas siswa mengikuti bimbingan belajar saat mulai mendekati UN. Para siswa dari golongan kurang mampu sering sekali tidak dapat mengikuti bimbel sehingga sering mendapat angka rendah di hasil UN-nya.

 

Ingat kah parent ketika sekolah dulu, saat menjelang ujian nasional parent berbondong-bondong ikut bimbingan belajar (bimbel) yang teman-teman lain ikuti. Setiap bimbel memiliki metode sendiri agar dapat membuat siswanya lulus UN dengan nilai yang memuaskan. Ada yang mengajarkan mind mapping, mempelajari soal-soal UN sebelumnya, bahkan yang parahnya ada memberikan kunci jawaban kepada siswa saat UN berlangsung. YA! Benar-benar ada bimbel yang memberikan jawaban saat UN berlangsung.

 

Kesannya siswa yang ikut di bimbel tersebut memang bayar untuk mendapatkan jawaban ujian nasional, bukan belajar cara menjawabnya sendiri. Tentu hal ini membentuk karakter anak yang tidak baik, mencontohkan jalan pintas untuk sesuatu yang memerlukan usaha keras. Orang tua pun kadang setuju dengan dalih memang anaknya tidak menonjol di bidang akademik, biarkan ikut di bimbel tersebut agar bisa lulus UN. AGAR BISA LULUS UN, jadi memang tujuannya memang lulus UN bukan mengerjakan dengan kemampuan siswa masing-masing.

 

Lalu di lain pihak, jika sekolah sudah mampu secara optimal membentuk metode pembelajaran yang dapat ditangkap oleh siswa, bukan kah kebutuhan bimbingan belajar tidak akan menjadi suatu yang pokok. Siswa yang memiliki tingkat akademis tinggi pun banyak yang ikut bimbel, karena mereka merasa masih belum memiliki kemampuan untuk mengerjakan UN. Ujian Nasional memang menjadi momok menakutkan untuk siswa.

 

Karena yang di tes bukan pemahaman siswa tetapi hafalan yang mereka bisa, dengan waktu kurang dari dua jam mereka harus menjawab 40 soal yang berasal dari hafalan-hafalan tersebut. Belum lagi dalam satu hari sering dikerjakan ujian lebih dari satu  mata pelajaran, pantas saja para siswa merasa tidak mampu jika tanpa bantuan bimbel. Parents pasti ingat kan masa-masa akhir sekolah yang seperti ini?

 

Asesmen Nasional yang dilaksanakan di lain sisi memberikan efek yang berbeda. Selain karena memiliki standar internasional, AN dilakukan sebagai program penilaian terhadap mutu sekolah. Jadi bukan sebagai kunci kelulusan para siswa. Lalu yang dites bukan hafalan siswa, tetapi kemampuan berpikir kritis, sehingga sangat sulit untuk di bimble-kan.

 

 

 

Monicka
Parenting Enthusiast - Homeschooling KITA