Seiring dengan bertumbuhnya kepopuleran pendidikan Montessori di Indonesia. Pertumbuhan sekolah-sekolah Montessori juga meningkat di kota-kota besar, seperti Jakarta, Jogjakarta, dan juga Bali. Banyak sekolah yang mengaku dirinya adalah sekolah Montessori. Lalu apa sebenarnya yang membuat sekolah dapat dikatakan sebagai sekolah Montessori?
Dalam Sistem Pendidikan Prusia (sistem standard pendidikan yang paling banyak digunakan sekolah), guru merupakan pusat pembelajaran. Mereka “mengajar” kurikulum di depan kelas, menjelaskan apa dan bagaimana siswa harus melakukan sesuatu konsep. Dalam hal ini, guru menjadi yang berperan aktif dan siswa lebih banyak pasif.
Guru hanya melakukan observasi pada pendekatan Montessori, ia menjadi fasilitator dan mengarahkan anak untuk belajar melalui interaksi dengan material. Anak-anak akan mengeskplorasi lingkungannya dan belajar melalui penemuannya. Guru akan mengamati kemajuan dan pastisipasi anak-anak.
Banyak yang menyangka jika kebutuhan Sekolah Montessori hanya perihal material. Material Montessori di desain oleh Dr. Montessori dengan tujuan khusus untuk mencapai perkembangan anak. Jadi banyak material yang memiliki fungsi khusus dalam penggunaannya. Sehingga Sekolah Montessori bukan sekedar memiliki material Montessori. Karena dalam penggunaan material Montessori ada hal-hal yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Jika guru dalam sekolah tidak memahami menggunakannya, maka bisa jadi material Montessori tersebut tidak digunakan sesuai fungsinya, sehingga sia-sia saat digunakan anak.
Ada 3 komponen utama yang membuat sekolah dapat dikatakan sebagai sekolah Montessori, yaitu Filosofi, Lingkungan, Guru. Ketiga komponen ini yang akan mendukung anak untuk berkembang dalam lingkup Montessori. Jika salah satunya tidak dicapai dengan baik, maka label “Montessori” dalam sekolah tersebut patut dipertanyakan.
Filosofi Montessori
Dalam hasil penelitiannya Dr. Montessori menemukan bahwa anak memiliki pola perkembangan paling alami dan secara natural sudah ada dalam diri mereka. yang perlu dilakukan adalah memahami pola ini sehingga kita mampu untuk membantu memaksimalkan potensi mereka. Saat kita berinteraksi dengan anak, tujuan utama dan terpenting adalah memahami tentang anak tersebut, perkembangan mereka dan minat mereka. Follow the child, Montessori menyebut filosofinya. Di dalam filosofinya banyak yang dapat dipelajari untuk memahami perkembangan anak, diantaranya
Lingkungan
Apa yang ada dibayangan Parents jika diminta untuk mendeskripsikan lingkungan sekolah? Kursi-kursi yang tersusun rapi, meja-meja yang berbaris menghadap papan dan lingkungan yang dapat dikatakan kaku. Montessori mengubah lingkungan belajar anak melalui observasinya. Saat ia melihat anak-anak lebih suka duduk dilantai, dia menyingkirkan meja dan kursi di dalam kelas. Lalu menyediakan alas untuk menggunakan material agar tetap teratur.
Sekarang di ruang kelas Montessori kita dapat melihat berbagai rak yang mudah dijangkau anak berisikan material yang sesuai dengan pembelajaran tersebut menempel di dinding kelas. Anak-anak akan bebas bergerak memilih material yang ingin digunakan, mereka belajar menggunakan material tersebut. Motivasi dibangun dari prestasi anak itu sendiri dan dicapai secara alami, karena mereka dapat belajar mengikuti minat dengan kecepatan mereka sendiri. Dalam ruang kelas biasanya berisi anak-anak dengan usia yang berbeda, sehingga anak lebih besar dapat mengajari lebih kecil dan yang kecil dapat belajar dari yang besar. Mereka membangun lingkungan belajar yang nyaman dan terasa seperti rumah.
Lingkungan ini disebut sebagai Prepared Environment, ada enam komponen yang harus dicapai dalam menghasilkan lingkungan ini, yaitu Kebebasan, Susunan dan Keteraturan, Realita dan Alam, Perkembangan Hidup Komunitas, Material Montessori, Suasana dan Keindahan.
Guru
Sesungguhnya Dr. Montessori mengubah peran guru menjadi seorang fasilitator. Guru bertugas untuk menfasilitasi dengan mengarahkan anak ke material, sehingga anak dapat menjelajah dan belajar melalui penemuan menggunakan material tersebut. Untuk dapat memenuhi tugasnya seorang “guru” Montessori harus memahami filosofi Montessori secara utuh, memahami perkembangan dan kebutuhan anak, mengetahui cara menyiapkan lingkungan untuk memaksimalkan pembelajaran anak-anak.
Di dalam kelas perannya sebagai “pengajar” yang aktif pun berubah di dalam lingkungan Montessori. Guru mempersiapkan lingkungan belajar anak, menunjukkan anak cara menggunakan material lalu secara perlahan membiarkan anak melakukannya sendiri, melakukan observasi pada setiap anak dan mencatat perkembangan serta mengubah lingkungan belajar sesuai kebutuhan belajar anak. Guru harus dapat menghormati kecepatan belajar siswa, menjaga lingkungan belajar tetap dalam keadaan tenang dan mengajarkan siswa berperilaku sopan, mengatasi konflik, dan menggunakan teknik positive discipline di dalam kelas. Sehingga anak-anak dapat kesempatan belajar kemampuan penting yang ditanamkan oleh metode Montessori, seperti: negosiasi, komunikasi, pengambilan keputusan, menghargai, empati, kemandirian dan lain-lain.
Jika seorang yang disebut guru dalam sekolah Montessori tidak dapat memenuhi standard tersebut, keseluruhan metode Montessori di dalamnya dianggap gagal. Karena guru merupakan jembatan antara anak dan lingkungan Montessori yang diciptakan. Sebagai filosofi pendidikan yang memiliki karakteristik dan pakem yang kuat, maka tidaklah mudah untuk membangun sekolah Montessori yang benar-benar memiliki filosofi, konsep dan lingkungan yang mendukung. Karena banyak hal yang harus dicapai untuk menjadi standard sekolah Montessori. Artikel ini dapat menjadi acuan Parent untuk melihat apakah sekolah dapat dikatakan sebagai sekolah Montessori atau tidak.
--------------
Monicka
Parenting Enthusiast
